Selamat datang di blog ku....!!
Semoga bermanfaat untuk semua...!!!
Amiiin. :)

Senin, 30 Maret 2015

cerpen



Cerpen
By : Fifi Nofia

Cerita Kehidupan

          Hari ini hari Kamis. Aku baru saja selesai shalat zuhur. Sekarang aku sedang menunggu seseorang disini, di taman kota. Hmm.. aku jadi ingat kejadian waktu itu, hari Kamis bakda zuhur 5 tahun silam.
          Aku punya sahabat namanya Brian. Dulu, sewaktu kecil, ia sangat baik, pintar, dan disukai teman-teman. Namun, sifatnya berubah ketika dia kelas 6 SD. Dia menjadi sosok yang pendiam, cuek, suka murung, mudah emosi, dan jarang bersosialisasi, kemudian di jauhi teman-temannya. Walaupun begitu, ada  satu hal yang aku syukuri yaitu dia masih mau mengobrol dengan ku.

           “Hai Brian, sebenarnya kau kenapa?” tanyaku, kala siang itu sepulang sekolah ketika berjalan pulang.

          “Tidak apa-apa.” Jawabnya singkat.

          “Jangan begitu, ceritalah padaku. Kita kan sahabat.” sahutku membujuk.

          Dia diam sejenak dan berhenti melangkah. Aku pun mengikutinya.

          “Aku benci dengan ayah ku! Dia selalu menyakiti ibu ku.” Sahutnya, saat sebelumnya menoleh kepadaku.

          Nampak sangat jelas kesedihan bercampur kebencian dimatanya. Aku hanya bisa diam mendengarnya. Dia pun bangkit dan berjalan pulang. Aku masih di tempat tadi dan hanya memandanginya. Waktu itu aku belum begitu mengerti apa yang dikatakannya. Sejak saat itu pula aku tidak lagi melihatnya. Dia pindah ke kota lain. Saat SMA aku baru bertemu  lagi dengannya. Dia sungguh menjadi seseorang yang berbeda. Perkelahian, tawuran, dan keonaran, tidak pernah lepas darinya.

          Aku dan Brian berteman lagi waktu kelas 2 SMA. Ketika Brian menyelamatkan aku yang terjebak diantara dua pihak yang sedang tawuran, dengan salah satu pihak dipimpin oleh Brian. Bayangkan! Seorang cewek terjebak dalam sebuah tawuran!. Mana aku tahu, apa yang harus aku lakukan.

          “Kau ini dari dulu sampai sekarang tetap saja bodoh!”

          Begitulah katanya setelah menolongku. Ekspresi dingin dan kaku. Walaupun begitu, aku tetap bersyukur berteman lagi setlahnya dengan sahabat lamaku itu.

          Waktu itu Brian datang ke rumahku dengan wajah bonyok. Mungkin habis berkelahi. Untung saja ibu dan ayah ku sedang tidak ada di rumah. Kalau tidak aku bisa dimarahi karena berteman dengan pribadi Brian yang sekarang ini.

          “Kau kenapa?” tanyaku pada Brian sesaat setelah aku meletakkan minuman di atas meja.

          Diam. Tak ada jawaban darinya.

      “Ya sudah kalau begitu. Aku mau ke kamar dulu, banyak tugas.”  Lanjutku sedikit kesal.

       “Tak ada yang berguna di hidupku” sahutnya, membuat langkah ku berhenti. ‘Apa maksudnya sih’ pikirku.

          “Dia seperti monster! Aku benci dengannya!” lanjutnya.

Ada kebencian dan rasa perih yang mendalam dimatanya begitu  juga dihatinya. Aku diam, tak tau apa yang harus aku katakan.

“Aku selalu bersabar menghadpinya demi ibuku. Aku sungguh tak mengerti kenapa ibu ku masih mau bertahan dengan lelaki seperti itu. Lelaki brengsek yang hanya membuat ibu sedih”

“Aku sangat benci kepadanya yang tak pernah menghiraukan kami. Dia lebih mementingkan istri keduanya itu. Menimbulkan sakit batin tersendiri untuk ibuku. Aku sudah berulang kali menyuruh ibuku untuk mengajukan surat cerai, tapi ibuku terus saja menolak. Katanya, dia masih mencintai ayahku. Bulshit! Orang sepertinya seharusnya tak pantas dicintai!”

Aku terus mendengar tak memberi komentar. Baru kali ini aku mendengar Brian bicara banyak. Aku tahu, kebencian terhadap ayahnya sudah terpatri sedemikian rupa hingga sangat sulit menghilangkannya.

          “Kau tau? hanya ada satu hal yang ingin aku lakukan”


          “Apa?” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku.

          “Membunuh ayahku!” dengan suara berat ia berkata seperti itu. Tak lupa kilatan mata itu kembali menyertai. Dia kemudian bangkit, berjalan ke pintu.

          “Maaf, telah mengganggumu. Terimakasih masih mau menganggapku sebagai teman.”

          Setelah berkata seperti itu, ia langsung meninggalkan rumahku. Semalaman aku tak bisa tidur. Aku terus memikirkan perkataan Brian.

Aku tau, ke mana pun Brian melangkah hampir pasti ia membuat masalah. 99% orang yang melihatnya mengelus dada dan ingin menamparnya. Ada saja ulahnya yang bikin enek. Akan tetapi, kejadian bakda Zuhur itu mungkin menjadi klimaksnya. Seluruh warga Perumahan Bumi Asri geger. Mobil patroli polisi berjejer di rumahnya.Seluruh warga berkumpul di depan rumahnya untuk melihat apa yang terjadi sambil berkasak kusuk seperti kumpulan lebah yang berdenging. Aku pun ikut berkumpul disana. Aku melihat Brian digiring masuk ke mobil polisi. Dia sempat menatapku. Aku bisa melihat masih ada seberkas kebencian dimatanya dan sedikit penyesalan. Aku hanya diam menatapnya. Aku tak menyangka Brian benar benar melaksanakan omongannya 3 hari lalu. Walaupun ayahnya tidak sampai meninggal, tetapi dia nyaris saja membunuhnya.

“Assalamualaikum. Fifi?”

Lamunanku buyar dan aku sedikit berjengit mendengar suara itu. Aku menatap seseorang yang sudah berdiri di hadapanku. Dandanannya lebih rapi dari 5 tahun silam.

 “Waalaikumsalam. Kau...?”

“Ya. Ini aku, teman kriminalmu.” Dia tertawa kecil.

“Kau sungguh berbeda.” Kataku.

“Ya. Kejadian masa lalu, 2 tahun dipenjara, 2 tahun di pesantren, dan satu tahun membuka bisnis dengan dibantu ayah tiriku yang baik memberiku pelajaran yang berharga dan sedikit demi sedikit membuatku berubah menjadi seseorang seperti sekarang ini.” Ada senyum di bibirnya. Akupun ikut tersenyum.

“Namun kebahagiaanku tidak akan lengkap tanpa dirimu. Besok aku akan melamarmu.” Ia kembali tersenyum.

Aku terkejut mendengarnya sekaligus bahagia.

Awal yang buruk bukan berarti akan berakhir dengan buruk pula bukan? Tergantung bagaimana kita menyikapi dan berusaha. Dulu, akibat keluarga yang kurang harmonis, Brian menjadi sosok yang buruk. Kemudian ia nyaris saja membunuh ayahnya. Membuatnya pernah dipenjara. Namun, ia berusaha bangkit dari keterpurukanmasa lalu. Sekarang dia menjadi seseorang yang lebih baik.

Dengan semua itu, kita tahu keburukan itu mungkin merupakan cobaan dari Tuhan. Kita tidak boleh menyerah untuk menghadapinya. Banyak keajaiban dalam hidup yang tak pernah kita duga.


_Selesai_

2 komentar:

  1. Ok2, sebenarnya saya sudah "wanti-wanti" supaya semua siswa hati-hati di bagian penulisan dialog. Makanya, saya sarankan untuk membaca beberapa contoh novel berkelas sastra dengan maksud supaya penulisan dialognya benar. Terima kasih, ke depan semoga ada perubahan yang lebih baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Pak Sartono. Sebenarnya saya juga suka membaca novel. Namun saya mungkin kurang memperhatikan penulisan dialog atau lainnya. Terimakasih atas sarannya.

      Hapus